"Sidney Hook sosok filsuf humanis demokrat"


Pertama sangat jelaslah dalam membaca esai-esai Sidney Hook almarhum ini, bahwa beliau adalah putra tulen dunia Amerika Utara: liberal, pembela demokrasi politik dan ekonomi, pemuja free enterprise dan free fight, penganut pragmatisme, pendekar kebebasan, humanis sekular, dan tentu saja orang yang berpaling membelakangi komunisme walaupun beliau pernah terpesona oleh Marxisme.  Seorang Socrates memang, yang mengajak kita kritis, juga dalam wilayah yang paling sukar, yakni kritis terhadap diri sendiri.  Namun beliau tetaplah seorang Socrates dari negeri Uncle Sam, yang meninggal sebelum dasawarsa 1990-an terbit.  Ini bukan penilaian yang otomatis negatif, akan tetapi perlu kita perhatikan.
Liberalisme dan dunia free enterprise mengandung banyak hal yang bagus, yang memupuk daya kreativitas dan daya kritis yang sangat diperlukan demi perkembangan manusia selaku pribadi dan masyarakat.  Kemerdekaan manusia pribadi sangat sentral dalam pemikiran Hook dan seumumnya dalam alam liberalisme.  Inilah aset dari kekuatannya yang sangat vital demi kemajuan dalam segala bidang, namun juga, seperti setiap isme, sekaligus kelemahannya.  Liberalisme sebetulnya adalah dasar manusia-manusia yang memang dari “sono”nya sudah pandai, kuat, merdeka, berani berpetualang, agresif.  Pokoknya manusia unggul.  Bangsa Amerika dari awal-mula terdiri dari para emigran yang justru memilih menjadi emigran karena dasar wataknya memang sudah pemberani, tidak mau mengalah kepada nasib, manusia pencinta kebebasan, banyak akal, manusia eksplorator, kuat bertahan dalam kesulitan, tidak gentar berpetualang.  Atau, dalam ungkapan sosiolog Amerika, Michael Maccoby, yang mempunyai ciri-ciri prototipe: the Gamesman, the Junglefighter, the Craftman, dan the Companyman, juara-juara sekaligus jawara-jawara dalam free fight dan free enterprise.
Manusia unggul selalu liberal dan sangat suka pada demokrasi liberal, pada kebebasan dan sebagainya. Sebab, ia punya kemampuan dan modal untuk bertarung dalam medan pergulatan dan kompetisi politik, ekonomi dan cultural. Ia dapat kalah, tetapi ia bertarung karena pada perhitungannya ia mempunyai harapan nyata untuk menang, asal ada peraturan permainan yang dipatuti bersama. Hook adalah salah satu filsufnya, di samping gurunya John Dewey, dan sederetan pemikir-pemikir dan pakar-pakar ulung pendahulunya, sampai pada sang Bapa Amerika Serikat, Jefferson.
Sidney Hook sebagai humanis sekular (mungkin lebih tepat sekularitis) dan penganut Natural Ethics tentu saja tidak sejauh orang kebanyakan Amerika dengan paham yang terkenal sebagai “American Creed”, yakni sebentuk Civil Religion yang menyerambahi semua warga negara USA secara eksplisit maupun implisit, yang berdogma “Amerika negeri terpilih oleh Tuhan, Israel Baru, dengan panggilan serta tujuan khusus di dunia ini demi kemerdekaan individu, ketidaktergantungan pada siapa pun, negeri demokrasi sosial politik,” dan sebagainya; dengan barangkali tambahan khas sekarang: “yang bertugas mulia sebagai Polisi Dunia.” Dalam baris-baris tulisannnya kita dapat membaca, betapa kebebasan, demokrasi, pikiran terang, sains, pragmatisme dan sebagainya, adalah inti-inti dasar filsafatnya, yang sebetulnya tidak mengejutkan dan boleh dikatakan sangat normal bagi seorang putera Amerika Serikat. Pragmatisme, seperti yantg ditunjuk oleh Profesor Paul Kurtz adalah “the theory and practice  of enlarging human freedom in a precarious and tragic world by the arts of intelligent social control.”
Lewat kacamata itulah kita membaca esai-esai filsafatinya tentang humanisme demokratik, maksud tujuan pendidikan, naturalisme dalam etika dan lain-lain, yang terkumpul dalam bunga rampai ini. Banyak pikirannya berharga bagi kita bila kita ingin menjadi nasion yang memekar dan maju, karena memang samalah esensi antara cita-cita filsuf Hook dan apa yang dicita-citakan para perintis kemerdekaan bangsa kita, yakni bahwa kemerdekaanlah yang menjadi kunci pemekaran diri dan kemajuan bangsa. Untuk itu, Proklamasi Kemerdekaan didengungkan dan diperjuangkan dengan banyak pengorbanan. Bukan hanya kemerdekaan bangsa sebagai koletivitas nasion, akan tetapi juga kemerdekaan bagi setiap pribadi dan warga negara Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945. Pragmatis seperti yang didefinisikan diatas pun dapat kita setujui dan dukung. Bukan hanya kemerdekaan dalam teori, melainkan juga dalam kenyataan praktis sebagai proses operasional.
Namun predikat liberal tidak disukai dinegeri ini. Dan ini dapat kita pahami, karena liberalisme pada dasarnya adalah penerapan Hukum Darwin: survival of the fittest memang hasilnya gemilang. Buahnya adalah makhluk-makhluk insan dan teknologi yang the fittest. Akan tetapi pengalaman bangsa kita dari zaman ke zaman mengenai Darwinisme politik, ekonomi, sosial dan kultural terlanjur sangatlah pahit. Memang bagi bangsa yang terdiri dari gamesman, junglefighters, craftsmen dan companymen yang tumbuh dari benih-benih unggul para emigran yang agresif, Darwinisme sangat menarik. Kemungkinan menang jaya memang besar. Akan tetapi bagi bangsa yang masih serba luka-luka berat, lemah dalam banyak hal, yang masih dibebani mental warisan berabad-abad sebagai kuli dan babu, serta kedudukan yang sampai hari ini terus-menerus terpojok dan dikalahkan secara ekonomi dan militer, pegangan hidup survival of the fittest tentu saja tidak menarik, bahkan merupakan ancaman yang serius. Liberalisme praktis akan merupakan formula bunuh diri yang bodoh.
Oleh karena itu kebebasan gaya Amerika dan liberalisme sama sekali tidak menarik bagi bangsa kita, dan seumumnya bagi bangsa-bangsa yang masih lemah serta mudah tercerai-berai. Ini wajar, karena pandangan manusia selalu adalah pandangan dengan melihat relevansi konteks diri dan posisi dirinya, tanpa mencemoohakn “the Strong Force” dan “the Gravitational Force” dari yang kita persepsi sebagai the Truth. Kebenaran, yang berlaku universal. Sebab, kebenaran harus menjadi struktur dasar dari kehidupan bangsa Indonesia, juga sebagai bangsa yang particular diantara bangsa-bangsa di dunia ini, akan tetapi yang mau mengintegrasikan diri ke dalam persaudaraan semua bangsa modern.
Kemerdekaan yang kita cita-citakan bukan kemerdekaan atau kebebasan liberal, akan tetepi kemerdekaan yang bertanggung jawab. Ini an sich sebenarnya suatu tautologi, sebab semua kemerdekaan yang sejati selalu bertanggung jawab, tidak sewenang-wenang. Dan sebaliknya, tanggung jawab sejati selalu datang dari dalam kemerdekaan. Oleh karena itu istilah kemerdekaan yang bertanggung jawab pada hakikatnya hanyalah deskripsi lain tentang kemerdekaan yang tidak Darwinistik.
Demikianlah, bagi suatu bangsa bekas terjajah yang sampai hari ini masih dalam posisi lemah penghayatan eksistensialnya, dengan tradisi amat panjang perbudakan zaman feodal dan penjajahan neokolonial dari luar, suatu bangsa yang belum mengalami sebentuk Renaisans atau Pencerahan (jadi soalnya tidak melulu pada segi kognitif belaka), soal-soal kemerdekaan, demokrasi, humanisme, naturalisme, pendidikan, pragmatisme dan sebagainya tidak mungkin dihayati secara reduksionis saja, seolah-olah permasalahannya hanyalah pada aspek rasionalitas atapun intelektualitas saja.
Demikian pun masalah individualisme, betatapun penting demi kemajuan, sulit dirasakan sesuatu yang tidak mengkha watirkan, karena bangsa kita baru saja melepaskan diri dari cenkraman suatu system yang justru menjunjung tinggi individualism secara liberal. Jadi masalahnya bukan saja pada soal prinsip apakah Hukum Darwin pantas diberlakukan pada manusia pula, tetapi juga pada segi psikologi pengalaman historis dan kondisional.
Orang miskin,lemah, labil dan agraris belum mengalami kesadaran Pencerahan, dan karena itu masih sempit horisonnya, primodial dan emosional cita rasanya. Maka agar menjadi kuat, bangsa itu terpaksa harus saling bersatu dulu dan merupakan kolektivitas yang kuat (dengan baiaya sosial mahal: mengesampingkan dahulu sebagian dari hak-hak individu) sebelum mampu mencapai fase budaya sebentuk Renaisanse atau pencerahan dengan ciri-cirinya yang humanis, demokratis, intelektual, individual, bebas relative tak tergantung pada kolektivitas, berpikir rasional dan luas, dan sebagainya. Lagi, bangsa Indonesia bukan bangsa Amerika. Pernah memang zaman dulu suku-suku Nusantara masih berbudaya maritime dan memiliki mental sikap pemberani dan kuat penuh tekad petualangan,. Tetapi masa itu sudah diakhiri oleh zaman perbudakan yang trerlanjur mewariskan sikap jongos dan babu yang sangat mendalam, dan yang masih dapat kita lihat warisannya dimana-mana sampai saat ini, tidak terkecuali bahkan khususnya di kalkangan birokrasi.
Oleh karena itu apa yang dinasihatkan oleh Sidney Hook, dengan latar belakang pengalaman dan penghayatan eksistensial bangsanya yang lain sama sekali milik kita, harus kita sambut dengan baik, tetapi kita saring dengan berhati-hati. Suatu bangsa yang masih merasa diperlakukan tidak adil dan terhisap oleh liberalism dan pragmatis neokolonial dan neoimprialistik sulit diharapkan untuk merangkul liberalism, pragmatism, naturalism maupun model-model humanism dan demokrasi yang justru menjadi pedoman dasar negeri para penghisap itu.
Namun dari pihak lain, dengan saringan kritis tertentu, saripati dari esai-esai sang filsuf Sidney Hook dapat berharga bagi kita. Tiada lain karena nyatanya bangasa-bangsa yang baru saja membebaskan diri dari kekuasaan sewenang-wenang asing mudah sekali terjatuh dalam system-sistem yang sama saj: tidak adil, tidak manusiawi, tidakmenghargai rakyat banyak, tidak rasional dan sebagainya, yang dating dari oknum-oknum bangsa sendiri daripada yang pernah dilakukan oelh bangsa-bangsa asing. Seperti tidak jarang juga perang dengan musuh luar.
Maka kendatipun kita tidak suka dengan kebebasan dan demokrasi ala barat, misalnya, itu tidak berarti bahwa kita lalu dibebaskan dari kewajiban mencari bentuk-bentuk kemerdekaan da demokrasi yang berakar sungguh pada sikap dasar perikemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam Ikhtiar ini orang bijak tidak akan mencasri selalu dari titik nol. Bila kita arif, amka kita dapat belajar dari orang lain, dari pengalaman bangsa dan filsuf dari bangsa-bangsa lain, karena khasanah pemikiran dan kearifan dari bangsa mana pun dan jaman kapan pun adalah harta kekayaan bangsa kita juga yang pastas kita manfaatkan sebagai modal.
Hook dan banyak para filsuf Barat yang sekularitis sangat kritis terhadap misalnya segala bentuk teologi dogmatic. Beliau skeptic terhadap segala pencarian Ultimate Being yang lazim kita sebut Tuhan. Juga mengenai segala pencarian ontology eksistensial. Hook mengkritik segala usaha untuk memperoleh kesimpulan-kesimpulan etika dari premis-premis teologi. Sebagai naturalis ilmiah Hook maintains that the method of science is the most reliable method for stabling truth claims in all fields of human interest, but this method is not esoteric, but is continuous with the use of critical intelligence in ordinary life. Demikian komentar Profesor Paul Kurtz.
Namun lagi ini: bagaimana mungkin bangsa yang sedang berkembang, yang sedang tersudut terus-menerus oleh tata-dunia politik, ekonomi, sosial, dan cultural yang didiktekan justru oleh bangsa-bangsa yang begitu canggih mempergunakan the method of science…dengan (their) criticsal intelligence in (their) ordinary life itu dapat percaya, bahwa metoda yang mereka pakai itu the most reliable method bagi kita disini? Bangsa kitaadalah bangsa yang ingin maju dan tidak takut terhadap metoda ilmiah, akan tetapi tetaplah bangsa kita bersila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kritis tidak harus berarti memeluk skeptisisme sekularistik yang pernah menjadi induk dari tata dunia yang samapiu saat ini masih kita rasakan penuh dengan ketidakadilan, kekejaman modern dan dekadensi moral.
Mungkin Sidney Hook dan banyak pakar yang searus dengannya masih mempunyai suatu pengertian kuno tentang yang disebut Dogma. Dogma dalam pengertian kuno memang dipahami sebagai kebenaran mutlak. Tetapi kita sekarang sudah sampai pada pengertian psikologis antropologis yang lebih seimbang, bahwa kebenaran mutlak hanyal Tuhan atau terserahdengan Nama apa kita menyebutNya.Agama pun bukan tuhan. Juga dogma bukan tuhan. Maka dogma apa pun bukan kebenaran mutlak, emlainkan hanya ekspresi pembahasan manusiawi yang kontekstual ikut diwarnai zaman dan budaya tertentu yang berusaha dengan bahasa manusia (yang selalu tidak pernah sempurna dan mutlak) untuk mendekati sebagian dari kebenaran melewati symbol-simbol. Semua bentuk bahasa adalah symbol. Simbol menunjuk kepada yang ditunjuk, tanpa menjadi apa yang ditunjuk. Selain itu bahasa manusia tidak pernah mutlak, karena bahasa manusia hidup dan berproses.
Bahasa seorang anak tentulah bukan lagi bahasa kaum dewasa. Tetapi padsa waktu sianak mengatakan ia mendengar bisikan angin didedaunan dan ia senang melihat bulan tersenyum, itu sungguh Dogma bagi dia, dalam kerangka kemampuan, fase perkembangan, dan konteks upaya pencarian si anak. Ia yakin bahwa angin benar-benar berbisik dan bahwa bulan benar-benar tersenyum. Manusia dewasa tahu lebih banyak tentang fisika angin dan keadaan bulan yang nyata. Tetapi manusia dewasa yang arif tidak akan mempersalahkan anak apabila si anak yakin bulan tersenyum. Setiap fase perkembangan historis punya bahasa, ekspresi, bahkan sistem-sistemnya sendiri yang dulu kontektual historis diyakini orang sebagai yang terbaik dan wajar, tetapi dalam fase kesadaran kita sekarang jelas tidak akan diiyakan begitu saja dan dipakai oleh manusia sekarang. Kita juga tidak akan menyalahkan orang mengapa dulu Majapahit bukan republik, walaupun kita sekarang tidak akan memakai sistem kerajaan Majapahit untuk Indonesia.
Namun tetaplah kritik Hook dan banyak orang sekularis sah dan pantas diperhatikan oleh setiap manusia yang ingin beriman dan bertakwa secara benar dan jujur. Kenyataan historis melaporkan betapa seringya agama-agama merupakan sumber perpecahan dan hampir selalu agama disalahgunakan untuk memperkuat kedudukan kaum penguassa lalim dan menyelubungi Kebenaran. Lupa, bahwa betapapun keramatnya agama, tetap agama tidak sama dengan Tuhan. Namun sebaliknya, pada waktu kita jujur mengakui bahwa agama-agama memang dari kodratnya ekslusivistik dan karenanya mudah menjadi sumber perselisihan dan topeng penutup kebenaran, pada waktu itu tidak bolehlah kita lupa, bahwa lainlah religiositas, iman dan takwa, esensi dari fenomen manusia religius. Religiositas bersifat inkusivis, dan karena itu tidaklah perlu orang yang pragmatis, humanis, demokratis, dan kritis terhadap agama harus menyangsikan fungsi dan kebaikan religiositas  dalam diri manusia yang merasakan suatu kerinduan kepada segala yang transenden yang akhirnya bermata air pada Tuhan, sumber dari segala sikap baik, suka damai dan saling mengangkat, sambil mencari dengan jujur dengan rasionalitas ilmiahnya maupun kepercayaan intuisinya prinsip-prinsip keberadaan diri manusia serta semesta raya. Sebab, manusia tidak dapat direduksi pada dimensi inteligensinya saja.
Selain itu kita didak boleh lupa pula: bagaimanapun hebatnya metoda analitik dan pencapaian sebagian kebenaran oleh intelegensi kritis, oleh sains, kriteria dan metoda sains itu sendiri tidaklah mutlak juga, dan berlaku hanya pada dimensi ilmiah eksperimental empirik. Masih ada dimensi-dimensi kehidupan dan penghayatan lain dalam manusia yang sah dan sangat manusiawi berada di luar wilayah sains. Ini pun diakui Hook. Dengan kata lain, dengan segala kekaguman dan penghormatan kita kepada sains dan daya inteligensi manusia, metoda sains bukan the most reliable method for establishing truth claims in alll fields of human interest; bukan kriterium dan penata terakhir dari hidup manusia, walaupun alat hebat itu mampu  menerangkan dan menyumbang  sangat banyak bagi perkembangan dan pendewasaan manusia dalam penanganan hidup diri manusia dan semesta alam.
Mental analitis Barat suka bekerja dan memang subur berhasil dengan skema: “atau ini atau itu.” Namun dianalisis tidak dikerjakan hanya demi analisis. Analisis dilakukan demi suatu sintesis. Maka cara pikir atau ini atau itu memerlukan dialektik yang pas dengan cara pikir “ini” dan” itu”. Tidak dalam suatu penjumlahan acak gado-gado eklekticistis, tetapi sintesis. Untuk itulah ada metoda dan sikap dialog serta dialektik. Inteligensia adalah salah satu kemampuan manusia yang sangat unggul. Tetapi tidak segala-galanya. Hanya lewat dialektik antara dimensi inteligensi atau sains dengan dimensi-dimensi kemampuan atau bakat lain dari manusia kita dapat mendekati the Truth secara lebih baik.
Mungkin seandainya Sidney Hook sekarang masih hidup, dan melihat realita tata dunia sekarang yang tidak tidak lagi menTuhankan sains seperti di tahun-tahun sebelum Perang Dunia sampai tahun-tahun 1960an, boleh jadi beliau, dengan kecerdasan dan ketajaman analisisnya, akan banyak merevisi  pandangan-pandangan beliau terhadap status dan kemampuan sains. Namun bagi kita, apa yang disajikan oleh filsuf Sidney Hook ini tetap sangat berharga sebagai ajakan untuk lebih mendalami lagi permasalahan-permasalahan yang begitu penting dan menentukan, seperti kemanusiaan, demokrasi, kemerdekaan, pendidikan, serta tragedi-tragedi yang menimpa bangsa manusia, baik lokal, nasional maupun global. Tidak untuk mengimitasi cara pemecahan soal dari wilayah budaya lain yang mempunyai histori dan posisi lain sama sekali dari situasi kondisi yang kita duduki, akan tetapi untuk mengambil hikmah dari setiap pemikiran yang mendalam, termasuk pemikiran-pemikiran Hook. Demi Pencarian kita meraih kebenaran dan kemanusiaan yang adil dan beradab, yang mempunyai esensi universal. Dalam suasana hati keterbukaan, namun juga dengan kritis kita renungkan esai-esai Socrates dari Amerika ini.

Membangun Manusia Indonesia dengan Panduan Model HDI

Tujuan pendirian Negara Republik Indonesia adalah untuk menciptakan kesejahteraan, rasa aman, mengangkat harga diri bangsa diantara bagsabangsa, meningkatkan taraf hidup rakyat, dan turut serta dalam menciptakan perdamaian dunia.

Sejauh mana kita sudah menghantar negara bangsa Indonesia menciptaka negara sejahtera? Pengukuran obyektif dengan menggunakan Human Development Index menunjukkan posisi Indonesia yang berada pada peringkat ke - 124 dari 187 negara. Pengukuran ini dilakukan oleh UNDP diyakini terbebas dari tujuan politik sempit.
Peringkat Indonesia memang naik perlahan dalam 20 tahun terakhir. Apakah kenaikan peringkat itu dapat dipercepat? Faktor apa saja yang berakibat positip pada kenaikan peringkat dalam HDI? Bagaimana melakukan intervensi dengan referensi pada Model HDI agar dapat meningkat HDI lebih cepat? Apakah Struktur Negara, Bentuk Pemerintahan, Kebijakan, Strategi Pembangunan, Praktek Politik yang dilakukan termasuk jumlah partai politik, Ideologi Negara, Peran Agama dalam Bernegara, Pemerataan Penghasilan,
Pendidikan, Program Kesehatan, Kesempatan Usaha yang lebih luas, Investasi dalam negeri, investasi asing, pengamanan lingkungan, dan Kebijakan Enersi merupakan faktor penentu utama dalam meningkatkan Human Development Index?

Model HDI menyatakan penentu peningkatan HDI Indonesia baru dapat dijelaskan oleh tiga variabel predictor utama, yaitu Transformasi Pedesaan yang agraris menjadi Pedesaan yang berbasis Industry (Industrial Transformation). Upaya ini sudah dilakukan dengan hasil baik di Jepang semasa restorasi Meiji, di Taiwan setelah tahun 1950 dan di Korea selatan setelah tahun 1960.

Transformasi desa Indonesia sehingga menjadi basis industri rumah tangga (Home Industry) menuntut perubahan mendasar dalam budaya dan kebijakan pendidikan. Penanaman disiplin agar sesuai dengan irama industri, ketepatan jadwal dan dukungan hukum yang efektif untuk menjamin terlaksananya transaksi pasar yang setara. Praktek Ijon, rentenir, dan premanisme harus dihilangkan. Rule of Law harus ditegakkan dalam menjamin berlangsungnya budaya industri ditingkat pendesaan. Industri juga sudah dapat didorong mengikuti pola Inti dan Plasma yang sempat sangat menjanjikan ditahun 1990 awal, kemudian ditinggalkan karena kita terjebak masuk kedalam pola industri korporatis yang cenderung memangsa industri2 yang lebih kecil. Industri besar harus dicegah menjadi konglomerasi yang mematikan pesaing2 dengan berbagai regulasi dan insentif. Kelompok masyarakat miskin dan sangat miskin harus dimobilisasi dan dijadikan asset nasional dan disertakan dalam proses menuju industri rumah tangga yang mampu bersaing. Kelompok yang kadang2 termasuk mereka yang sering disebut tidak terjangkau (untouchable) dipacu untuk melahirkan innovasi yang  dikembangkan sendiri oleh mereka tanpa terlalu banyak didikte oleh birokrasi.
Reformasi birokrasi sangat diperlukan. Birokrasi menjadi pelayan masyarakat. Abdi Negara yang sesungguhnya saat ini bahkan lebih berfungsi sebagai penarik rente ekonomi dan bagian dari mesin politik pencari uang. Perbaikan birokrasi juga berkaitan dengan manajemen pajak yang lebih menyeluruh, progressive, dan memberikan dorongan pada innovasi dan investasi. Innovasi dibidang perpajakan ini yang kuat kaitannya dengan peningkatan HDI.

Pesan Moral Sang Ibu

Suatu hari seorang anak gadis berkata pd ibu nya: “Ibu, ibu selalu terlihat cantik, aku ingin seperti ibu, beritahukan aku bagaimana caranya agar cantik seperti ibu”. Dengan tatapan lembut dan senyum haru, sang ibu menjawab : “Nak, untuk bibir yang menarik, ucapkanlah kata-kata yang baik dan berkenan di hati orang, untuk pipi yang lesung, tebarkanlah senyum ikhlasmu, untuk tubuh yang langsing sisihkanlah makanan mu untuk fakir miskin, untuk jemari yang lentik hitunglah kebajikan yang telah kau dapatkan dari orang lain, untuk wajah yang bercahaya , bersihkanlah kotoran dalam batinmu anakku !” ,...karena itu janganlah sombong akan kecantikan fisik , karena itu akan pudar ditelan oleh waktu, tetapi kecantikan batin dan perilaku yang kau tunjukan tidak akan pudar walau oleh kematian” ...

Jika kita bersalah, maka kita wajib minta maaf,..janganlah karena hal itu akan membawa air mata, tatalah bagaimana engkau da...
lam memikirkan masa depanmu, agar hal ini tidak selalu membawa rasa ketakutan yang berkepanjangan.

Jalankan kehidupanmu yang saat ini dgn senyum dan rasa syukur, karena hal ini akan membawa keceriaan suka cita dihati. Setiap masalah yang kau dapat dalam hidup ada yang bisa membuat kita pedih atau malah kadang membuat kita menjadi lebih baik, setiap masalah yang timbul juga bisa menguatkan atau malah menghancurkan hati kita,pilihan ada ditangan kita apakah kita akan memilih menjadi pecundang atau pemenang.

Carilah hati yang indah bukan wajah yang cantik atau yang ganteng, teman pecinta catatan renungan,hal-hal yang indah tidak lalu selalu baik,tapi sebaliknya hal-hal yang baik akan selalu indah.....!!

TERSESAT DI JALAN YANG BENAR


Beradu slogan adalah satu-satunya kegiatan produktif perpolitikan kita sekarang ini. Retorika memang menjadi kegemaran politik bangsa ini. Tetapi yang berlangsung sekarang adalah retorika politik dalam bentuknya yang banal: dangkal, murah, dan kosong. Pertandingan argumen di parlemen lebih banyak unsur demagogisnya, ketimbang pedagogis. Produk politik kepartaian (koalisi, politik pilkada, perebutan posisi-posisi dalam birokrasi), misalnya, lebih mengesankan sebuah hasil transaksi bisnis elite partai ketimbang upaya pendidikan politik bermutu untuk rakyat. Oportunisme kekuasaan jauh mendahului normativisme demokrasi: politik masih dilihat sebagai peralatan kekuasaan demi kegunaan jangka pendek dan bukan sebagai pelembagaan nilai-nilai demokrasi untuk proyek peradaban jangka panjang. Kualitas demokrasi memang ditentukan oleh kualitas politisi. Reformasi menghasilkan lembaga-lembaga politik modern, tetapi etika politiknya masih amat terbelakang.

Sesungguhnya, sejarah politik kita pernah memiliki masa ketika retorika diolah dalam kualitas. Periode yang disebut "demokrasi liberal" 1950-an itu adalah sebuah masa ketika retorika politik diukur berdasarkan mutu argumen di parlemen dan bukan jumlah spanduk partai di jalanan. Periode itu adalah masa ketika politik bekerja dalam kendali etika. Ada debat publik yang keras, tetapi kehangatan sosial tetap terjalin. Ada prinsip di dalam menyelenggarakan politik, tetapi tidak jatuh dalam fundamentalisme. Penghargaan terhadap kualitas manusia menjamin tidak terjadinya "pembunuhan karakter" dalam perselisihan politik. Dalam satu istilah: ruang publik berfungsi secara beradab. Di era itu, politik lebih dihayati sebagai inisiasi kebudayaan ketimbang transaksi kekuasaan.

Keinginan untuk membangun peradaban demokrasi adalah pikiran bersama yang menjadi dasar pergaulan politik di masa itu. Periode itu seperti hendak membuktikan bahwa setelah kemerdekaan politik adalah kemerdekaan individu. Bahwa komunalisme (terutama yang berbasis agama, etnis, dan identitas daerah) masih merupakan beban politik yang besar memang disadari, tetapi tidak terlalu dipikirkan oleh elite politik. Di benak elite politik ketika itu, mengutak-atik komunalisme sama saja dengan membangunkan macan tidur: fundamentalisme dapat bangkit setiap saat. Keyakinan bahwa sebuah Indonesia modern harus dibangun berdasarkan akal sehat berwujud dalam berbagai produk politik: editorial media massa yang kritis, pengkaderan politik yang pedagogis, polemik kebudayaan yang konseptual, dan koalisi-koalisi politik yang rasional-programatis. Ada kondisi citizenship yang sehat, yaitu tumbuhnya kesadaran akan hak-hak politik sekaligus berlangsungnya dinamika politik yang terbuka. Periode demokrasi liberal itu menjamin penuh pemenuhan political rights, sekaligus menyelenggarakan suasana civil liberties.

Dari sudut interpretasi teori politik kontemporer, periode liberal itu telah memenuhi semua persyaratan normatif suatu sistem demokrasi: penghormatan integritas individu untuk menjamin hak asasi manusia, berlangsungnya overlapping consensus untuk mencegah sektarianisme, publisitas untuk mengaktifkan ruang publik, dan toleransi otentik untuk menghindari fundamentalisme. Interpretasi ini mungkin terlalu elitis, tetapi sumber-sumber sejarah terus membawa bukti bahwa sebuah kultur politik liberal dapat diselenggarakan di sebuah negeri yang "timur".

Idealisme itu memang cepat berakhir. Era kebebasan politik itu dihentikan Presiden Soekarno di tengah jalan. Dari semua argumen yang diajukan untuk menutup demokrasi liberal, yang kemudian terbukti sebagai motif adalah keinginan Soekarno untuk mengendalikan politik ditambah kepentingan militer untuk masuk dalam sistem kekuasaan negara. Sejak itu kita masuk dalam situasi kontrademokrasi: "Demokrasi Terpimpin". Politik kontrademokrasi ini terus berlanjut ke Presiden Soeharto. Ketika Orde Baru berjaya, kebebasan politik adalah juga barang haram. Karena itu, liberalisme dilarang keras, bukan karena ia bawaan Barat, tapi karena ia adalah ancaman bagi otoritarianisme.

Waktu reformasi tiba, ia membawa kebebasan politik. Tetapi kutukan baru juga tetap diberikan padanya: liberalisme cum sekularisme adalah barang haram! Fatwa MUI menegaskan itu. Di belakang kutukan itu ada sentimen anti-Barat, kendati MUI adalah lembaga keagamaan, bukan lobi politik. Bukan cuma MUI. Partai-partai politik yang terbakar semangat "nasionalisme keras" juga terganggu dan bereaksi keras menolak liberalisme yang mereka anggap sebagai nenek moyang kapitalisme dan imperialisme. Tentu, retorika semacam itu hanya berguna dalam situasi "massa", karena argumentasi memang tidak diperlukan untuk menyelenggarakan politik demagogis. Padahal, feodalisme dalam nomenklatura elite partailah yang justru terganggu oleh liberalisme. Dalam politik, slogan memang harus diumbar, sementara kepentingan ditutup rapat.

Psikologi politik kita memang masih dikendalikan oleh sindrom pascakolonial, yaitu kecurigaan paranoia pada semua yang "asing" sambil mencari-cari pegangan pada "politik identitas" untuk dipercaya sebagai yang "asli". Plesetan lagu Garuda Pancasila ala mahasiswa menggambarkannya dengan bagus: "...pribadi bangsaku; mau maju malu, malu-malu maju, maju malu-malu...."

Dalam spektrum politik, liberalisme itu dapat berdiri di kiri, dapat juga duduk di kanan. Dalam politik Eropa, liberalisme bertanding dengan politik kiri. Politik buruh pasti memusuhi kebijakan liberal. Tetapi liberalisme Eropa memiliki versi kiri, yaitu kaum sosial demokrat yang amat kritis terhadap kapitalisme. Di Amerika, menjadi liberal berarti mengusung politik kiri: keadilan sosial. Tetapi simplifikasi ideologi semacam ini tidak lagi bertahan dalam kondisi politik postmodern. Misalnya, isu lingkungan yang seharusnya berwatak borjuis justru dikampanyekan secara intensif oleh politik kiri masa kini. Jadi, liberalisme dapat juga berbaring di tengah.

Sebagai pandangan politik, liberalisme memang menetapkan satu hal: individu adalah pemilik tunggal dirinya sendiri. Negara, agama, kultur, komunitas, pasar, nation, harus ditunda eksistensinya demi security individu. Memang, penindasan negara dan agama dalam sejarah Eropa abad ke-17-lah yang menghasilkan paham itu. Tapi, bukan asal-usul historisnya yang penting, melainkan fungsinya dalam melindungi kebebasan individulah yang membuat liberalisme itu bermanfaat bagi setiap zaman. Artinya, di setiap waktu, kala kebebasan terancam, entah oleh negara, agama, kapital, komunitas, atau paham-paham sosial absolut, maka kita memerlukan liberalisme sebagai argumen untuk melindungi diri.

Kita kini hidup dalam dunia yang multinilai. Situasi kebudayaan kontemporer memperlihatkan bahwa medan orientasi nilai sungguh amat terbuka. Tidak ada lagi identitas politik yang final, asli, dan stabil. Definisi tentang hidup dapat ditemukan di mana saja. Dan politik selalu ada dalam kondisi in the making, sarat imajinasi, bahkan cenderung dalam ide bermain-main. Dalam dunia yang seperti itu, toleransi liberal berarti sensitivitas terhadap pilihan-pilihan individual. Kredo liberalisme adalah bahwa ruang pilihan politik individu tidak boleh ditutup demi ajaran apa pun. Dengan prinsip itu politik liberal melindungi diri dari klaim mayoritarianisme dan promosi eksklusivisme.

Namun, kaum liberal tidak sekadar mengamankan diri di dalam metafisika individualisme, lalu hidup dalam ilusi kebebasan. Sesungguhnya, sejarah politik liberalisme adalah sejarah perjuangan kebebasan, yaitu tindakan untuk menghentikan penghinaan terhadap martabat manusia. Karena itu, keadilan sosial dan kesetaraan adalah tema yang menetap dalam politik liberal. Demi itu, kekuasaan negara difungsikan. Artinya, intervensi politik negara diperlukan untuk memelihara kebebasan ruang politik agar setiap orang dapat merealisasi pilihan-pilihan nilainya. Tetapi mendahulukan hak tetaplah merupakan filsafat dasar liberalisme. Kesetaraan tidak boleh melampaui kebebasan individu. Pada akhirnya, menjadi liberal bukanlah suatu keahlian akademis atau kelihaian politis, melainkan suatu pilihan etis, yaitu kehendak untuk menghormati manusia langsung pada inti kemanusiaannya, yaitu kebebasannya!

Esai ini tidak untuk membicarakan sistem pemerintahan: apakah sistem parlementer atau presidensial yang lebih baik kita pilih. Bahwa kedudukan presiden sekarang ini melemah berhadapan dengan politik parlemen bukan membuktikan bahwa sistem pemerintahan kita sudah beralih menjadi "demokrasi liberal". Kelemahan kedudukan presiden itu adalah semata-mata soal kekurangan keahlian politik presiden. Sistem presidensial mengandalkan legitimasi langsung kekuasaan presiden pada hasil pemilu. Filosofinya adalah bahwa hanya pemilu yang dapat membatalkan kekuasaan presiden. Deretan hak yang dimiliki DPR, sejauh-jauhnya ia ditafsirkan, tidak dapat melebihi mandat langsung yang diterima presiden dari rakyat. Dalam sistem presidensial, yang sungguh-sungguh merupakan wakil rakyat bukan anggota DPR, melainkan presiden. Soalnya adalah apakah presiden memahami privilese politik itu dan memanfaatkannya untuk penguatan kebudayaan politik kita.

Liberalisme yang barusan kita bicarakan adalah lebih pada soal situasi kebudayaan politik yang mewadahi suatu sistem pemerintahan. Dan situasi itulah yang hari-hari ini tidak kita miliki. Kita mengalami defisit liberalisme. Kita memang menikmati political rights hasil reformasi, tetapi civil liberties justru sedang terancam oleh berbagai tekanan politik identitas. "Liberalisme adalah jalan yang sesat!" Kutukan politik itu masih menetap dalam kultur politik kita. Tapi, agaknya, kini kita tidak perlu takut bila harus tersesat di jalan yang benar.


PAHLAWAN YANG TERLUPAKAN

Tan Malaka sejatinya tak percaya terhadap parlemen. Bagi Tan Malaka, pembagian kekuasaan yang terdiri atas eksekutif, legislatif, dan parlemen hanya menghasilkan kerusakan. Pemisahan antara orang yang membuat undang-undang dan yang menjalankan aturan menimbulkan kesenjangan antara aturan dan realitas. Pelaksana di lapangan (eksekutif) adalah pihak yang langsung berhadapan dengan persoalan yang sesungguhnya. Eksekutif selalu dibuat repot menjalankan tugas ketika aturan dibuat oleh orang-orang yang hanya melihat persoalan dari jauh (parlemen). Demokrasi dengan sistem parlemen melakukan ritual pemilihan sekali dalam 4, 5, atau 6 tahun. Dalam kurun waktu demikian lama, mereka sudah menjelma menjadi kelompok sendiri yang sudah berpisah dari masyarakat. Sedangkan kebutuhan dan pikiran rakyat berubah-ubah. Karena para anggota parlemen itu tak bercampur-baur lagi dengan rakyat, seharusnya mereka tak berhak lagi disebut sebagai wakil rakyat.
Konsekuensinya adalah parlemen memiliki kemungkinan sangat besar menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan golongan yang memiliki modal, jauh dari kepentingan masyarakat yang mereka wakili. Menurut Tan, parlemen dengan sendirinya akan tergoda untuk berselingkuh dengan eksekutif, perusahaan, dan perbankan.

Kalau kita tarik ke zaman sekarang, mungkin Tan Malaka bisa menepuk dada. Dia akan menyuruh kita menyaksikan sebuah negara yang parlemennya dikuasai oleh wakil buruh, seperti Inggris, kemudian menyetujui penggunaan pajak hasil keringat buruh untuk berperang menginvasi negara lain.

Akhirnya, parlemen di mata Tan Malaka tak lebih dari sekadar warung tempat orang-orang adu kuat ngobrol. Mereka adalah para jago berbicara dan berbual, bahkan kalau perlu sampai urat leher menonjol keluar. Tan Malaka menyebut anggota parlemen sebagai golongan tak berguna yang harus diongkosi negara dengan biaya tinggi.

Singkatnya, keberadaan parlemen dalam republik yang diimpikan Tan Malaka tak boleh ada. Buku Soviet atau Parlemen dengan tegas memperlihatkan pendirian Tan Malaka. Sampai usia kematangan berpikirnya, Tan tak banyak berubah, kecuali dalam soal ketundukan kepada Komintern Moskow. Karena pendirian ini pula Tan Malaka sangat keras menentang Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada 1945 tentang pendirian partai-partai. Sebab, partai-partai pasti bermuara di parlemen.
http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html