Pertama
sangat jelaslah dalam membaca esai-esai Sidney Hook almarhum ini, bahwa beliau
adalah putra tulen dunia Amerika Utara: liberal, pembela demokrasi politik dan
ekonomi, pemuja free enterprise dan free fight, penganut
pragmatisme, pendekar kebebasan, humanis sekular, dan tentu saja orang yang
berpaling membelakangi komunisme walaupun beliau pernah terpesona oleh
Marxisme. Seorang Socrates memang, yang mengajak kita kritis, juga dalam
wilayah yang paling sukar, yakni kritis terhadap diri sendiri. Namun
beliau tetaplah seorang Socrates dari negeri Uncle Sam, yang meninggal sebelum
dasawarsa 1990-an terbit. Ini bukan penilaian yang otomatis negatif, akan
tetapi perlu kita perhatikan.
Liberalisme
dan dunia free enterprise mengandung banyak hal yang bagus, yang memupuk
daya kreativitas dan daya kritis yang sangat diperlukan demi perkembangan
manusia selaku pribadi dan masyarakat. Kemerdekaan manusia pribadi sangat
sentral dalam pemikiran Hook dan seumumnya dalam alam liberalisme. Inilah
aset dari kekuatannya yang sangat vital demi kemajuan dalam segala bidang,
namun juga, seperti setiap isme, sekaligus kelemahannya. Liberalisme
sebetulnya adalah dasar manusia-manusia yang memang dari “sono”nya sudah
pandai, kuat, merdeka, berani berpetualang, agresif. Pokoknya manusia
unggul. Bangsa Amerika dari awal-mula terdiri dari para emigran yang
justru memilih menjadi emigran karena dasar wataknya memang sudah pemberani,
tidak mau mengalah kepada nasib, manusia pencinta kebebasan, banyak akal,
manusia eksplorator, kuat bertahan dalam kesulitan, tidak gentar
berpetualang. Atau, dalam ungkapan sosiolog Amerika, Michael Maccoby,
yang mempunyai ciri-ciri prototipe: the Gamesman, the Junglefighter, the
Craftman, dan the Companyman, juara-juara sekaligus jawara-jawara
dalam free fight dan free enterprise.
Manusia
unggul selalu liberal dan sangat suka pada demokrasi liberal, pada kebebasan
dan sebagainya. Sebab, ia punya kemampuan dan modal untuk bertarung dalam medan
pergulatan dan kompetisi politik, ekonomi dan cultural. Ia dapat kalah, tetapi
ia bertarung karena pada perhitungannya ia mempunyai harapan nyata untuk
menang, asal ada peraturan permainan yang dipatuti bersama. Hook adalah salah
satu filsufnya, di samping gurunya John Dewey, dan sederetan pemikir-pemikir
dan pakar-pakar ulung pendahulunya, sampai pada sang Bapa Amerika Serikat,
Jefferson.
Sidney
Hook sebagai humanis sekular (mungkin lebih tepat sekularitis) dan penganut Natural
Ethics tentu saja tidak sejauh orang kebanyakan Amerika dengan paham yang
terkenal sebagai “American Creed”, yakni sebentuk Civil Religion
yang menyerambahi semua warga negara USA secara eksplisit maupun implisit, yang
berdogma “Amerika negeri terpilih oleh Tuhan, Israel Baru, dengan panggilan
serta tujuan khusus di dunia ini demi kemerdekaan individu, ketidaktergantungan
pada siapa pun, negeri demokrasi sosial politik,” dan sebagainya; dengan
barangkali tambahan khas sekarang: “yang bertugas mulia sebagai Polisi Dunia.”
Dalam baris-baris tulisannnya kita dapat membaca, betapa kebebasan, demokrasi,
pikiran terang, sains, pragmatisme dan sebagainya, adalah inti-inti dasar
filsafatnya, yang sebetulnya tidak mengejutkan dan boleh dikatakan sangat
normal bagi seorang putera Amerika Serikat. Pragmatisme, seperti yantg ditunjuk
oleh Profesor Paul Kurtz adalah “the theory and practice of enlarging
human freedom in a precarious and tragic world by the arts of intelligent
social control.”
Lewat
kacamata itulah kita membaca esai-esai filsafatinya tentang humanisme
demokratik, maksud tujuan pendidikan, naturalisme dalam etika dan lain-lain,
yang terkumpul dalam bunga rampai ini. Banyak pikirannya berharga bagi kita
bila kita ingin menjadi nasion yang memekar dan maju, karena memang samalah
esensi antara cita-cita filsuf Hook dan apa yang dicita-citakan para perintis
kemerdekaan bangsa kita, yakni bahwa kemerdekaanlah yang menjadi kunci
pemekaran diri dan kemajuan bangsa. Untuk itu, Proklamasi Kemerdekaan
didengungkan dan diperjuangkan dengan banyak pengorbanan. Bukan hanya
kemerdekaan bangsa sebagai koletivitas nasion, akan tetapi juga kemerdekaan
bagi setiap pribadi dan warga negara Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus
1945. Pragmatis seperti yang didefinisikan diatas pun dapat kita setujui dan
dukung. Bukan hanya kemerdekaan dalam teori, melainkan juga dalam kenyataan praktis
sebagai proses operasional.
Namun
predikat liberal tidak disukai dinegeri ini. Dan ini dapat kita pahami, karena
liberalisme pada dasarnya adalah penerapan Hukum Darwin: survival of the
fittest memang hasilnya gemilang. Buahnya adalah makhluk-makhluk insan dan
teknologi yang the fittest. Akan tetapi pengalaman bangsa kita dari
zaman ke zaman mengenai Darwinisme politik, ekonomi, sosial dan kultural
terlanjur sangatlah pahit. Memang bagi bangsa yang terdiri dari gamesman,
junglefighters, craftsmen dan companymen yang tumbuh dari
benih-benih unggul para emigran yang agresif, Darwinisme sangat menarik.
Kemungkinan menang jaya memang besar. Akan tetapi bagi bangsa yang masih serba
luka-luka berat, lemah dalam banyak hal, yang masih dibebani mental warisan
berabad-abad sebagai kuli dan babu, serta kedudukan yang sampai hari ini
terus-menerus terpojok dan dikalahkan secara ekonomi dan militer, pegangan
hidup survival of the fittest tentu saja tidak menarik, bahkan merupakan
ancaman yang serius. Liberalisme praktis akan merupakan formula bunuh diri yang
bodoh.
Oleh
karena itu kebebasan gaya Amerika dan liberalisme sama sekali tidak menarik
bagi bangsa kita, dan seumumnya bagi bangsa-bangsa yang masih lemah serta mudah
tercerai-berai. Ini wajar, karena pandangan manusia selalu adalah pandangan
dengan melihat relevansi konteks diri dan posisi dirinya, tanpa mencemoohakn
“the Strong Force” dan “the Gravitational Force” dari yang kita
persepsi sebagai the Truth. Kebenaran, yang berlaku universal. Sebab, kebenaran
harus menjadi struktur dasar dari kehidupan bangsa Indonesia, juga sebagai
bangsa yang particular diantara bangsa-bangsa di dunia ini, akan tetapi yang
mau mengintegrasikan diri ke dalam persaudaraan semua bangsa modern.
Kemerdekaan
yang kita cita-citakan bukan kemerdekaan atau kebebasan liberal, akan tetepi
kemerdekaan yang bertanggung jawab. Ini an sich sebenarnya suatu
tautologi, sebab semua kemerdekaan yang sejati selalu bertanggung jawab, tidak
sewenang-wenang. Dan sebaliknya, tanggung jawab sejati selalu datang dari dalam
kemerdekaan. Oleh karena itu istilah kemerdekaan yang bertanggung jawab
pada hakikatnya hanyalah deskripsi lain tentang kemerdekaan yang tidak
Darwinistik.
Demikianlah,
bagi suatu bangsa bekas terjajah yang sampai hari ini masih dalam posisi lemah
penghayatan eksistensialnya, dengan tradisi amat panjang perbudakan zaman
feodal dan penjajahan neokolonial dari luar, suatu bangsa yang belum mengalami
sebentuk Renaisans atau Pencerahan (jadi soalnya tidak melulu pada segi
kognitif belaka), soal-soal kemerdekaan, demokrasi, humanisme, naturalisme,
pendidikan, pragmatisme dan sebagainya tidak mungkin dihayati secara
reduksionis saja, seolah-olah permasalahannya hanyalah pada aspek rasionalitas
atapun intelektualitas saja.
Demikian
pun masalah individualisme, betatapun penting demi kemajuan, sulit dirasakan
sesuatu yang tidak mengkha watirkan, karena bangsa kita baru saja melepaskan
diri dari cenkraman suatu system yang justru menjunjung tinggi individualism
secara liberal. Jadi masalahnya bukan saja pada soal prinsip apakah Hukum
Darwin pantas diberlakukan pada manusia pula, tetapi juga pada segi psikologi
pengalaman historis dan kondisional.
Orang
miskin,lemah, labil dan agraris belum mengalami kesadaran Pencerahan, dan
karena itu masih sempit horisonnya, primodial dan emosional cita rasanya. Maka
agar menjadi kuat, bangsa itu terpaksa harus saling bersatu dulu dan merupakan
kolektivitas yang kuat (dengan baiaya sosial mahal: mengesampingkan dahulu
sebagian dari hak-hak individu) sebelum mampu mencapai fase budaya sebentuk
Renaisanse atau pencerahan dengan ciri-cirinya yang humanis, demokratis,
intelektual, individual, bebas relative tak tergantung pada kolektivitas,
berpikir rasional dan luas, dan sebagainya. Lagi, bangsa Indonesia bukan bangsa
Amerika. Pernah memang zaman dulu suku-suku Nusantara masih berbudaya maritime
dan memiliki mental sikap pemberani dan kuat penuh tekad petualangan,. Tetapi
masa itu sudah diakhiri oleh zaman perbudakan yang trerlanjur mewariskan sikap
jongos dan babu yang sangat mendalam, dan yang masih dapat kita lihat
warisannya dimana-mana sampai saat ini, tidak terkecuali bahkan khususnya di
kalkangan birokrasi.
Oleh
karena itu apa yang dinasihatkan oleh Sidney Hook, dengan latar belakang
pengalaman dan penghayatan eksistensial bangsanya yang lain sama sekali milik
kita, harus kita sambut dengan baik, tetapi kita saring dengan berhati-hati.
Suatu bangsa yang masih merasa diperlakukan tidak adil dan terhisap oleh
liberalism dan pragmatis neokolonial dan neoimprialistik sulit diharapkan untuk
merangkul liberalism, pragmatism, naturalism maupun model-model humanism dan
demokrasi yang justru menjadi pedoman dasar negeri para penghisap itu.
Namun
dari pihak lain, dengan saringan kritis tertentu, saripati dari esai-esai sang
filsuf Sidney Hook dapat berharga bagi kita. Tiada lain karena nyatanya
bangasa-bangsa yang baru saja membebaskan diri dari kekuasaan sewenang-wenang
asing mudah sekali terjatuh dalam system-sistem yang sama saj: tidak adil,
tidak manusiawi, tidakmenghargai rakyat banyak, tidak rasional dan sebagainya,
yang dating dari oknum-oknum bangsa sendiri daripada yang pernah dilakukan oelh
bangsa-bangsa asing. Seperti tidak jarang juga perang dengan musuh luar.
Maka
kendatipun kita tidak suka dengan kebebasan dan demokrasi ala barat, misalnya,
itu tidak berarti bahwa kita lalu dibebaskan dari kewajiban mencari bentuk-bentuk
kemerdekaan da demokrasi yang berakar sungguh pada sikap dasar perikemanusiaan
yang adil dan beradab. Dalam Ikhtiar ini orang bijak tidak akan mencasri selalu
dari titik nol. Bila kita arif, amka kita dapat belajar dari orang lain, dari
pengalaman bangsa dan filsuf dari bangsa-bangsa lain, karena khasanah pemikiran
dan kearifan dari bangsa mana pun dan jaman kapan pun adalah harta kekayaan
bangsa kita juga yang pastas kita manfaatkan sebagai modal.
Hook
dan banyak para filsuf Barat yang sekularitis sangat kritis terhadap misalnya
segala bentuk teologi dogmatic. Beliau skeptic terhadap segala pencarian
Ultimate Being yang lazim kita sebut Tuhan. Juga mengenai segala pencarian
ontology eksistensial. Hook mengkritik segala usaha untuk memperoleh kesimpulan-kesimpulan
etika dari premis-premis teologi. Sebagai naturalis ilmiah Hook maintains
that the method of science is the most reliable method for stabling truth
claims in all fields of human interest, but this method is not esoteric, but is
continuous with the use of critical intelligence in ordinary life. Demikian
komentar Profesor Paul Kurtz.
Namun
lagi ini: bagaimana mungkin bangsa yang sedang berkembang, yang sedang tersudut
terus-menerus oleh tata-dunia politik, ekonomi, sosial, dan cultural yang
didiktekan justru oleh bangsa-bangsa yang begitu canggih mempergunakan the
method of science…dengan (their) criticsal intelligence in (their) ordinary
life itu dapat percaya, bahwa metoda yang mereka pakai itu the most reliable
method bagi kita disini? Bangsa kitaadalah bangsa yang ingin maju dan tidak
takut terhadap metoda ilmiah, akan tetapi tetaplah bangsa kita bersila
Ketuhanan Yang Maha Esa. Kritis tidak harus berarti memeluk skeptisisme
sekularistik yang pernah menjadi induk dari tata dunia yang samapiu saat ini
masih kita rasakan penuh dengan ketidakadilan, kekejaman modern dan dekadensi
moral.
Mungkin
Sidney Hook dan banyak pakar yang searus dengannya masih mempunyai suatu
pengertian kuno tentang yang disebut Dogma. Dogma dalam pengertian kuno memang
dipahami sebagai kebenaran mutlak. Tetapi kita sekarang sudah sampai pada
pengertian psikologis antropologis yang lebih seimbang, bahwa kebenaran mutlak
hanyal Tuhan atau terserahdengan Nama apa kita menyebutNya.Agama pun bukan
tuhan. Juga dogma bukan tuhan. Maka dogma apa pun bukan kebenaran mutlak,
emlainkan hanya ekspresi pembahasan manusiawi yang kontekstual ikut diwarnai
zaman dan budaya tertentu yang berusaha dengan bahasa manusia (yang selalu
tidak pernah sempurna dan mutlak) untuk mendekati sebagian dari kebenaran
melewati symbol-simbol. Semua bentuk bahasa adalah symbol. Simbol menunjuk
kepada yang ditunjuk, tanpa menjadi apa yang ditunjuk. Selain itu bahasa
manusia tidak pernah mutlak, karena bahasa manusia hidup dan berproses.
Bahasa
seorang anak tentulah bukan lagi bahasa kaum dewasa. Tetapi padsa waktu sianak
mengatakan ia mendengar bisikan angin didedaunan dan ia senang melihat bulan
tersenyum, itu sungguh Dogma bagi dia, dalam kerangka kemampuan, fase
perkembangan, dan konteks upaya pencarian si anak. Ia yakin bahwa angin
benar-benar berbisik dan bahwa bulan benar-benar tersenyum. Manusia dewasa tahu
lebih banyak tentang fisika angin dan keadaan bulan yang nyata. Tetapi manusia
dewasa yang arif tidak akan mempersalahkan anak apabila si anak yakin bulan
tersenyum. Setiap fase perkembangan historis punya bahasa, ekspresi, bahkan
sistem-sistemnya sendiri yang dulu kontektual historis diyakini orang sebagai
yang terbaik dan wajar, tetapi dalam fase kesadaran kita sekarang jelas tidak
akan diiyakan begitu saja dan dipakai oleh manusia sekarang. Kita juga tidak
akan menyalahkan orang mengapa dulu Majapahit bukan republik, walaupun kita
sekarang tidak akan memakai sistem kerajaan Majapahit untuk Indonesia.
Namun
tetaplah kritik Hook dan banyak orang sekularis sah dan pantas diperhatikan
oleh setiap manusia yang ingin beriman dan bertakwa secara benar dan jujur.
Kenyataan historis melaporkan betapa seringya agama-agama merupakan sumber
perpecahan dan hampir selalu agama disalahgunakan untuk memperkuat kedudukan
kaum penguassa lalim dan menyelubungi Kebenaran. Lupa, bahwa betapapun
keramatnya agama, tetap agama tidak sama dengan Tuhan. Namun sebaliknya, pada
waktu kita jujur mengakui bahwa agama-agama memang dari kodratnya
ekslusivistik dan karenanya mudah menjadi sumber perselisihan dan topeng
penutup kebenaran, pada waktu itu tidak bolehlah kita lupa, bahwa lainlah religiositas,
iman dan takwa, esensi dari fenomen manusia religius. Religiositas
bersifat inkusivis, dan karena itu tidaklah perlu orang yang pragmatis,
humanis, demokratis, dan kritis terhadap agama harus menyangsikan fungsi dan
kebaikan religiositas dalam diri manusia yang merasakan suatu
kerinduan kepada segala yang transenden yang akhirnya bermata air pada Tuhan,
sumber dari segala sikap baik, suka damai dan saling mengangkat, sambil mencari
dengan jujur dengan rasionalitas ilmiahnya maupun kepercayaan intuisinya
prinsip-prinsip keberadaan diri manusia serta semesta raya. Sebab, manusia
tidak dapat direduksi pada dimensi inteligensinya saja.
Selain
itu kita didak boleh lupa pula: bagaimanapun hebatnya metoda analitik dan
pencapaian sebagian kebenaran oleh intelegensi kritis, oleh sains, kriteria dan
metoda sains itu sendiri tidaklah mutlak juga, dan berlaku hanya pada dimensi
ilmiah eksperimental empirik. Masih ada dimensi-dimensi kehidupan dan
penghayatan lain dalam manusia yang sah dan sangat manusiawi berada di luar
wilayah sains. Ini pun diakui Hook. Dengan kata lain, dengan segala kekaguman
dan penghormatan kita kepada sains dan daya inteligensi manusia, metoda sains
bukan the most reliable method for establishing truth claims in alll fields
of human interest; bukan kriterium dan penata terakhir dari hidup manusia,
walaupun alat hebat itu mampu menerangkan dan menyumbang sangat
banyak bagi perkembangan dan pendewasaan manusia dalam penanganan hidup diri
manusia dan semesta alam.
Mental
analitis Barat suka bekerja dan memang subur berhasil dengan skema: “atau ini
atau itu.” Namun dianalisis tidak dikerjakan hanya demi analisis. Analisis
dilakukan demi suatu sintesis. Maka cara pikir atau ini atau itu
memerlukan dialektik yang pas dengan cara pikir “ini” dan” itu”.
Tidak dalam suatu penjumlahan acak gado-gado eklekticistis, tetapi sintesis.
Untuk itulah ada metoda dan sikap dialog serta dialektik. Inteligensia adalah salah
satu kemampuan manusia yang sangat unggul. Tetapi tidak segala-galanya.
Hanya lewat dialektik antara dimensi inteligensi atau sains dengan
dimensi-dimensi kemampuan atau bakat lain dari manusia kita dapat mendekati the
Truth secara lebih baik.
Mungkin
seandainya Sidney Hook sekarang masih hidup, dan melihat realita tata dunia
sekarang yang tidak tidak lagi menTuhankan sains seperti di tahun-tahun sebelum
Perang Dunia sampai tahun-tahun 1960an, boleh jadi beliau, dengan kecerdasan
dan ketajaman analisisnya, akan banyak merevisi pandangan-pandangan
beliau terhadap status dan kemampuan sains. Namun bagi kita, apa yang disajikan
oleh filsuf Sidney Hook ini tetap sangat berharga sebagai ajakan untuk lebih
mendalami lagi permasalahan-permasalahan yang begitu penting dan menentukan,
seperti kemanusiaan, demokrasi, kemerdekaan, pendidikan, serta tragedi-tragedi
yang menimpa bangsa manusia, baik lokal, nasional maupun global. Tidak untuk
mengimitasi cara pemecahan soal dari wilayah budaya lain yang mempunyai histori
dan posisi lain sama sekali dari situasi kondisi yang kita duduki, akan tetapi
untuk mengambil hikmah dari setiap pemikiran yang mendalam, termasuk
pemikiran-pemikiran Hook. Demi Pencarian kita meraih kebenaran dan kemanusiaan
yang adil dan beradab, yang mempunyai esensi universal. Dalam suasana hati
keterbukaan, namun juga dengan kritis kita renungkan esai-esai Socrates dari
Amerika ini.
0 comments:
Post a Comment