Beradu
slogan adalah satu-satunya kegiatan produktif perpolitikan kita sekarang ini.
Retorika memang menjadi kegemaran politik bangsa ini. Tetapi yang berlangsung
sekarang adalah retorika politik dalam bentuknya yang banal: dangkal, murah,
dan kosong. Pertandingan argumen di parlemen lebih banyak unsur demagogisnya,
ketimbang pedagogis. Produk politik kepartaian (koalisi, politik pilkada,
perebutan posisi-posisi dalam birokrasi), misalnya, lebih mengesankan sebuah
hasil transaksi bisnis elite partai ketimbang upaya pendidikan politik bermutu
untuk rakyat. Oportunisme kekuasaan jauh mendahului normativisme demokrasi:
politik masih dilihat sebagai peralatan kekuasaan demi kegunaan jangka pendek
dan bukan sebagai pelembagaan nilai-nilai demokrasi untuk proyek peradaban
jangka panjang. Kualitas demokrasi memang ditentukan oleh kualitas politisi.
Reformasi menghasilkan lembaga-lembaga politik modern, tetapi etika politiknya
masih amat terbelakang.
Sesungguhnya,
sejarah politik kita pernah memiliki masa ketika retorika diolah dalam
kualitas. Periode yang disebut "demokrasi liberal" 1950-an itu adalah
sebuah masa ketika retorika politik diukur berdasarkan mutu argumen di parlemen
dan bukan jumlah spanduk partai di jalanan. Periode itu adalah masa ketika
politik bekerja dalam kendali etika. Ada debat publik yang keras, tetapi
kehangatan sosial tetap terjalin. Ada prinsip di dalam menyelenggarakan
politik, tetapi tidak jatuh dalam fundamentalisme. Penghargaan terhadap
kualitas manusia menjamin tidak terjadinya "pembunuhan karakter"
dalam perselisihan politik. Dalam satu istilah: ruang publik berfungsi secara
beradab. Di era itu, politik lebih dihayati sebagai inisiasi kebudayaan ketimbang
transaksi kekuasaan.
Keinginan
untuk membangun peradaban demokrasi adalah pikiran bersama yang menjadi dasar
pergaulan politik di masa itu. Periode itu seperti hendak membuktikan bahwa
setelah kemerdekaan politik adalah kemerdekaan individu. Bahwa komunalisme
(terutama yang berbasis agama, etnis, dan identitas daerah) masih merupakan
beban politik yang besar memang disadari, tetapi tidak terlalu dipikirkan oleh
elite politik. Di benak elite politik ketika itu, mengutak-atik komunalisme
sama saja dengan membangunkan macan tidur: fundamentalisme dapat bangkit setiap
saat. Keyakinan bahwa sebuah Indonesia modern harus dibangun berdasarkan akal
sehat berwujud dalam berbagai produk politik: editorial media massa yang
kritis, pengkaderan politik yang pedagogis, polemik kebudayaan yang konseptual,
dan koalisi-koalisi politik yang rasional-programatis. Ada kondisi citizenship
yang sehat, yaitu tumbuhnya kesadaran akan hak-hak politik sekaligus
berlangsungnya dinamika politik yang terbuka. Periode demokrasi liberal itu
menjamin penuh pemenuhan political rights, sekaligus menyelenggarakan suasana
civil liberties.
Dari
sudut interpretasi teori politik kontemporer, periode liberal itu telah
memenuhi semua persyaratan normatif suatu sistem demokrasi: penghormatan
integritas individu untuk menjamin hak asasi manusia, berlangsungnya
overlapping consensus untuk mencegah sektarianisme, publisitas untuk
mengaktifkan ruang publik, dan toleransi otentik untuk menghindari
fundamentalisme. Interpretasi ini mungkin terlalu elitis, tetapi sumber-sumber
sejarah terus membawa bukti bahwa sebuah kultur politik liberal dapat
diselenggarakan di sebuah negeri yang "timur".
Idealisme
itu memang cepat berakhir. Era kebebasan politik itu dihentikan Presiden
Soekarno di tengah jalan. Dari semua argumen yang diajukan untuk menutup
demokrasi liberal, yang kemudian terbukti sebagai motif adalah keinginan
Soekarno untuk mengendalikan politik ditambah kepentingan militer untuk masuk
dalam sistem kekuasaan negara. Sejak itu kita masuk dalam situasi
kontrademokrasi: "Demokrasi Terpimpin". Politik kontrademokrasi ini
terus berlanjut ke Presiden Soeharto. Ketika Orde Baru berjaya, kebebasan
politik adalah juga barang haram. Karena itu, liberalisme dilarang keras, bukan
karena ia bawaan Barat, tapi karena ia adalah ancaman bagi otoritarianisme.
Waktu
reformasi tiba, ia membawa kebebasan politik. Tetapi kutukan baru juga tetap
diberikan padanya: liberalisme cum sekularisme adalah barang haram! Fatwa MUI
menegaskan itu. Di belakang kutukan itu ada sentimen anti-Barat, kendati MUI
adalah lembaga keagamaan, bukan lobi politik. Bukan cuma MUI. Partai-partai
politik yang terbakar semangat "nasionalisme keras" juga terganggu
dan bereaksi keras menolak liberalisme yang mereka anggap sebagai nenek moyang
kapitalisme dan imperialisme. Tentu, retorika semacam itu hanya berguna dalam
situasi "massa", karena argumentasi memang tidak diperlukan untuk
menyelenggarakan politik demagogis. Padahal, feodalisme dalam nomenklatura
elite partailah yang justru terganggu oleh liberalisme. Dalam politik, slogan
memang harus diumbar, sementara kepentingan ditutup rapat.
Psikologi
politik kita memang masih dikendalikan oleh sindrom pascakolonial, yaitu
kecurigaan paranoia pada semua yang "asing" sambil mencari-cari
pegangan pada "politik identitas" untuk dipercaya sebagai yang "asli".
Plesetan lagu Garuda Pancasila ala mahasiswa menggambarkannya dengan bagus:
"...pribadi bangsaku; mau maju malu, malu-malu maju, maju
malu-malu...."
Dalam
spektrum politik, liberalisme itu dapat berdiri di kiri, dapat juga duduk di
kanan. Dalam politik Eropa, liberalisme bertanding dengan politik kiri. Politik
buruh pasti memusuhi kebijakan liberal. Tetapi liberalisme Eropa memiliki versi
kiri, yaitu kaum sosial demokrat yang amat kritis terhadap kapitalisme. Di
Amerika, menjadi liberal berarti mengusung politik kiri: keadilan sosial.
Tetapi simplifikasi ideologi semacam ini tidak lagi bertahan dalam kondisi
politik postmodern. Misalnya, isu lingkungan yang seharusnya berwatak borjuis
justru dikampanyekan secara intensif oleh politik kiri masa kini. Jadi,
liberalisme dapat juga berbaring di tengah.
Sebagai
pandangan politik, liberalisme memang menetapkan satu hal: individu adalah
pemilik tunggal dirinya sendiri. Negara, agama, kultur, komunitas, pasar,
nation, harus ditunda eksistensinya demi security individu. Memang, penindasan
negara dan agama dalam sejarah Eropa abad ke-17-lah yang menghasilkan paham
itu. Tapi, bukan asal-usul historisnya yang penting, melainkan fungsinya dalam
melindungi kebebasan individulah yang membuat liberalisme itu bermanfaat bagi
setiap zaman. Artinya, di setiap waktu, kala kebebasan terancam, entah oleh
negara, agama, kapital, komunitas, atau paham-paham sosial absolut, maka kita
memerlukan liberalisme sebagai argumen untuk melindungi diri.
Kita
kini hidup dalam dunia yang multinilai. Situasi kebudayaan kontemporer
memperlihatkan bahwa medan orientasi nilai sungguh amat terbuka. Tidak ada lagi
identitas politik yang final, asli, dan stabil. Definisi tentang hidup dapat
ditemukan di mana saja. Dan politik selalu ada dalam kondisi in the making,
sarat imajinasi, bahkan cenderung dalam ide bermain-main. Dalam dunia yang
seperti itu, toleransi liberal berarti sensitivitas terhadap pilihan-pilihan
individual. Kredo liberalisme adalah bahwa ruang pilihan politik individu tidak
boleh ditutup demi ajaran apa pun. Dengan prinsip itu politik liberal
melindungi diri dari klaim mayoritarianisme dan promosi eksklusivisme.
Namun,
kaum liberal tidak sekadar mengamankan diri di dalam metafisika individualisme,
lalu hidup dalam ilusi kebebasan. Sesungguhnya, sejarah politik liberalisme
adalah sejarah perjuangan kebebasan, yaitu tindakan untuk menghentikan
penghinaan terhadap martabat manusia. Karena itu, keadilan sosial dan
kesetaraan adalah tema yang menetap dalam politik liberal. Demi itu, kekuasaan
negara difungsikan. Artinya, intervensi politik negara diperlukan untuk
memelihara kebebasan ruang politik agar setiap orang dapat merealisasi
pilihan-pilihan nilainya. Tetapi mendahulukan hak tetaplah merupakan filsafat
dasar liberalisme. Kesetaraan tidak boleh melampaui kebebasan individu. Pada
akhirnya, menjadi liberal bukanlah suatu keahlian akademis atau kelihaian
politis, melainkan suatu pilihan etis, yaitu kehendak untuk menghormati manusia
langsung pada inti kemanusiaannya, yaitu kebebasannya!
Esai
ini tidak untuk membicarakan sistem pemerintahan: apakah sistem parlementer
atau presidensial yang lebih baik kita pilih. Bahwa kedudukan presiden sekarang
ini melemah berhadapan dengan politik parlemen bukan membuktikan bahwa sistem
pemerintahan kita sudah beralih menjadi "demokrasi liberal".
Kelemahan kedudukan presiden itu adalah semata-mata soal kekurangan keahlian
politik presiden. Sistem presidensial mengandalkan legitimasi langsung
kekuasaan presiden pada hasil pemilu. Filosofinya adalah bahwa hanya pemilu
yang dapat membatalkan kekuasaan presiden. Deretan hak yang dimiliki DPR,
sejauh-jauhnya ia ditafsirkan, tidak dapat melebihi mandat langsung yang
diterima presiden dari rakyat. Dalam sistem presidensial, yang sungguh-sungguh
merupakan wakil rakyat bukan anggota DPR, melainkan presiden. Soalnya adalah
apakah presiden memahami privilese politik itu dan memanfaatkannya untuk penguatan
kebudayaan politik kita.
Liberalisme
yang barusan kita bicarakan adalah lebih pada soal situasi kebudayaan politik
yang mewadahi suatu sistem pemerintahan. Dan situasi itulah yang hari-hari ini
tidak kita miliki. Kita mengalami defisit liberalisme. Kita memang menikmati
political rights hasil reformasi, tetapi civil liberties justru sedang terancam
oleh berbagai tekanan politik identitas. "Liberalisme adalah jalan yang
sesat!" Kutukan politik itu masih menetap dalam kultur politik kita. Tapi,
agaknya, kini kita tidak perlu takut bila harus tersesat di jalan yang benar.
waww :D
ReplyDeletebahasa tingkat tinggi..
mantap eman.. keep writing ^^
heheheheh.... itu hanya hasil coret2 ajah... masih dlm proses belajar.
ReplyDelete