Pancasila merupakan dasar dan
pedoman yang kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Merupakan doktrin
yang ditanamkan kepada masyarakat indonesia sejak duduk dibangku sekolah dasar
hingga mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, cita – cita luhur bangsa
Indonesia telah termaktub dalam sila kelima dasar negara ini ialah; Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia. Dalam mewujudkan cita – citanya Indonesia telah melalui perjalanan
sejarah yang cukup panjang bahakan dihadapkan dengan dengan suatu Era dimana,
batas - batas negara telah di persempit seiring dengan perkembangan tehknologi
dan transpotrasi modern atau yang lebih dekenal dengan sebutan Era-Globalisasi.
Keterbukaan informasi dan
akses transportasi ke-seluruh belahan dunia membawa dampak ganda berupa dampak
yang menguntungkan maupun sebaliknya, peran dan fungsi negara dalam menciptakan
harmonisasi kondisi politik, social (ktersediaan akses pendidikan), Hukum dan
ekonomi menjadi sangat vital. Ketidak harmonisan kondisi antar unsur – unsur
ini, akan memberi ruang yang besar bagi dominasi asing di Indonesia. Era
keterbukaan ini pendominasian asing terhadap sebuah negara mewujud kedalam
beragam bentuk dan pola baik, pendidikan, budaya, ekonomi maupun undang –
undang yang secara khusus merupakan pesanan pihak asing. Dalam aspek pendidkan
misalanya, komersialisasi dalam pendidikan, merupakan masalah
pelik yang dihadapi oleh pendidikan kita sekarang ini ialah masalah
standardisasi dan internasionalisasi pendidikan. Pendidik dan pengambil
kebijakan dalam bidang pendidikan sedang dalam keadaan terpesona dengan baku
mutu internasional yang mensyaratkan kompetisi yang ketat dalam pencapaiannya.
Globalisasi
meniscayakan terjadinya perdagangan bebas dan dinilai menjadi ajang kreasi para
pemodal dalam melakuakn perluasan bagi pertumbuhan perdagangan dunia, serta
pembangunan dengan sistem pengetahuan. Hal ini berarti bahwa terjadinya
perubahan sosial yang mengubah pola komunikasi, teknologi, produksi dan
konsumsi serta peningkatan paham internasionalisme merupakan sebuah nilai
budaya. Globalisasi,
didalam perkembanganya lebih dimaknai dalam konteks globalisasi ekonomi, yakni tersebarnya
ekonomi pasar bebas hampir di seluruh dunia. Hal itu dapat terjadi mengingat
konstalasi ekonomi-plitik dunia menampikan kapitalisme sebagai kekuatan utama
dunia. Sebagai kekuatan tanpa tanding. Kaptalisme sekaligus kekuatan budaya,
yang mampu merekonstruksi pola budaya masyarakat dunia. Hal tersebut menunjukan
bahwa pemaknaan globalisasi semakin meluas dan majemuk (Aminuddin, 2009 : 247).
Dalam hal ini penulis akan mendiskusikan
mengenai posisi keadilan social dalam gempuran arus globalisasi khususnya dalam
dunia pendidikan.
Berbicara
kedilan social dalam konteks globalisasi tentu akan membahas berbagai aspek
baik pendidikan, budaya, maupun ekonomi. Sejak lima abad yang lalu perusahaan
di negara – negara yang perekonomianya telah maju, meluaskan jangkauan
keuanganya melalui aktivitas produksi dan perdagangan (yang semakin intensif di
masa penjajahan) ke berbagi dunia. Namun, sejak dua hingga tiga decade lalu
globalsasi ekonomi telah semakin mempercepat perluasan jangkauan tersebut
sebagai akibat dari berbagai factor, seperti perkembangan teknologi dan
terutama kebijakan – kebijakan liberalisasi yang telah menjalar keseluruh
dunia.
Aspek
– aspek penting yang tercakup dalam proses globalisasi ekonomi adalah runtuhnya
hambatan – hambatan ekonomi nasional; meluasnya aktifitas – aktifitas produksi,
keuangan dan perdagangan secara internasional serta semakin berkembangya
kekuasaan perusahaan – perusahaan transnasional dan institusi – institusi
moneter internasional. Walaupun globalisasi ekonomi merupakan proses yang
terjadi secara tidak merata, yang mana penigkatan perdagangan dan investasi
hanya terfokus di segelintir negara saja namun, hamper semua negara di dunia
sangat dipengaruhi oleh proses tersebut(Khor, 2000 : 10).
Arus
globalisasi yang menerjang dunia ketiga, khususnya Indonesia akan memberi angin
segar bagi para pemodal asing dalam melakukan ekspansi ekonomi di negara -
negara bekembang mengingat, kecenderungan masyarakat dunia ketiga yang konsumtif
dan mudah terlena dengan rayuan gombal para pemodal asing yang menawarkan
kesejahtraan dan kemakmuran bagi negara – negara yang siap menampung atau
menagungung resiko eksploitasi sumberdaya baik sumberdaya alam maupun
sumberdaya manusianya. Gempuran arus globalisasi yang merupakan lahan subur
bagi kapitlisme meastikan diri dalam eksitensinya menguasai kebutuhan akan pendidikan
yang layak dengan menerapkan standar pendidikan elit bagi masyarakat dunia
ketiga.
Pendidikan
pun pada akhirnya menjadi orientasi pasar. Tuntutan akan teknologi yang
berkembang pesat, menyebabkan pemerintah juga jadi kerepotan dan akhirnya
mengubah kurikulum pendidikan di Indonesia yang disesuaikan dengan tuntutan
era-globalisasi. Tidak mustahil, akhirnya berjamurnya sekolah-sekolah
berstandar internasional hingga pembuatan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan
(UU BHP) yang kontroversial, dengan kata lain globalisasi menyebabkan
bergesernya fungsi lembaga pendidikan menjadi bisnis. Indikator ini dapat
digambarkan dengan lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 77 Tahun 2007,
pendidikan ditetapkan sebagai bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal
asing.
Satu-satunya
syarat adalah, bahwa pihak luar terbatas menanamkan modal sebesar 49 persen.
Inilah dampak dari World Trade Organization (WTO) yang kemudian oleh Mendiknas diberikan
izin ke Menteri Perdagangan. Sinyal inilah menggambarkan ambruknya peran negara
dalam mengelola pendidikan. Berkurangnya peran negara seolah membenarkan akan
kapitalisme yang berwujud pada istilah good governance. Sehingga, pemerintah
seminim mungkin tidak ikut campur dalam urusan kebijakan publik, melainkan
biarlah bebas mengikuti arus pasar (www.equador-news.com).
Pendidikan
seyogianya merupakan hak warga negara yang diatur oleh Undang-undang Dasar 1945.
Tuntutan akan sekolah berstandar internasional yang bertujuan memiliki daya
saing dalam era globalisasi ini tidak diimbangi dengan analisis sosial
masyarakat Indonesia. Sekolah internasional dengan mengedepankan asas bisnis
profit oriented, menyebabkan pembengkakan harga pendidikan yang mahal.
“Pendidikan berkualitas adalah pendidikan yang mahal” inilah istilah yang pada
akhirnya lahir di masa kontemporer. Muaranya ialah banyak anak bangsa yang
harus putus sekolah karena biaya pendidikan yang mahal.
Gejala-gejala
komersialisasi tersebut sekarang berdampak besar pada merosotnya kualitas
pembelajaran di perguruan tinggi. Dosen lebih disibukkan oleh urusan mengajar.
Satu orang dosen tidak jarang harus mengampu 18 – 24 SKS dalam satu semester.
Bayangkan saja bagaimana harus membagi waktu, kapan penelitian dan
pengabdiannya. Walaupun demikian, beberapa PTN yang berstatus BHMN menyatakan
bahwa salah satu keuntungan positif dari perluasan program di perguruan tinggi
adalah akses pendidikan relatif jauh tersebar melalui beberapa pintu seleksi
masuk.
Salah
satu rektor PTN di Yogyakarta bahkan mengatakan bahwa biaya masuk dan
operasional pendidikan yang relatif tinggi yang dibebankan kepada mahasiswa
jalur khusus telah mampu mendorong subsidi bagi mahasiswa kurang mampu dan
dapat menutup kekurangan biaya operasional pendidikan. Dalam konteks ini,
implementasi subsidi silang merupakan terobosan jalan tengah yang bagus. Namun,
pertanyaannya kemudian, bagaimana jika trend masuk perguruan tinggi ke depan
justru semakin didominasi oleh orang-orang yang memiliki kantong tebal? Hampir
dapat dipastikan bahwa jumlah mahasiswa kurang mampu yang memiliki bakat luar
biasa justru akan semakin tersingkirkan dan prosentasenya jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan mahasiswa kaya. Walhasil, akses pendidikan terbuka luas,
tetapi ketidakseimbangan dan ketidakadilan pasti akan mencuat ke permukaan.
Permasalahan
yang muncul akibat komersialisasi pendidikan bukan hanya dirasakan pada tingkat
perguruan tinggi saja, SMP dan SMA pun memberlakukan rintisan sekolah bertaraf
internasional (RSBI) yang tentunya hanya akan dirasakan oleh masyarakat kelas
menegah ke atas.
Dampak social akan stratifikasi pendidikan
juga selaras dengan munculnya stratifikasi kedudukan social dalam msayarakat
Indonesia. keseluruhan dampak dan factor gempuran arus globalisasi merupakan
anasisis dasar penulis akan keprihatianan kondisi bangsa ini. Cita - cita luhur
bangsa Indonesia seperti yang termaktub dalam dasar negara kita; Kedalian
social bagi seluruh rakyat Indonesia di era globalisasi dan komersialisasi
pendidikan nampaknya harus di ubah menjadi keadilan social bagi seluruh elit
berkantong tebal.
Wassalam!!
Wassalam!!
0 comments:
Post a Comment